Sore itu, pertengahan tahun 1998, seorang teman menghubungi. Ia mengatakan apakah saya ada waktu, karena ia ingin mengajak saya menonton pertandingan sepakbola di Gajayana, Malang. Waktu itu kami sedang liburan sekolah. Beberapa kali saya menonton sepakbola di stadion, tetapi kali ini saya menonton tim Liga Indonesia. Bukan main-main, yang ditonton adalah Arema Malang.
Sementara sebelumnya, saya hanya menonton PSID (Persatuan Sepakbola Indonesia Djombang) yang berlaga di Divisi II. Arema tentu berada di kelas dan level yang berbeda. Sejak lama saya mengagumi Arema, tetapi hanya lewat berita-berita di Jawa Pos dan Malang Pos. Kadang-kadang saudara-saudara saya yang asli Bululawang, Malang, sering bercerita tentang klub kebanggaan mereka.
Bagaimana mereka mengharubirukan jalan-jalan ketika Arema bertanding di Gajayana. Bagaimana sepinya jalan-jalan ketika hari pertandingan. Saya telah lama mendengar tentang Aremania, suporter yang hebat, atraktif, loyal dan fanatik. Saya juga telah mendengar tentang perseteruan abadi antara Arema dan Persebaya, yang mewakili hegemoni dua kota besar di Jawa Timur. Semua cerita itu akhirnya membawa saya ke dalam stadion Gajayana, tempat dilangsungkannya pertandingan antara Arema Malang vs Persebaya Surabaya. Orang-orang menyebutnya Derby Jatim, pertandingan yang secara tontonan, gengsi dan emosional lebih besar daripada pertandingan manapun di Jawa Timur.
Saya mendapati bahwa semua cerita itu ternyata benar. Sekitar 20 ribuan penonton memadati Gajayana, termasuk di sentelban. Jalanan kota Malang sepi. Arak-arakan motor, angkutan umum yang mengangkut supporter dan mobil pribadi semua mengarah ke Gajayana. Hari itu hujan rintik-rintik, tetapi saya telah mendengar bahwa Arema akan bermain lebih bagus jika lapangan becek. Entah itu sindiran atau ungkapan kekaguman. Kemudian seorang Aremania (yang kelak saya ketahui bernama Yuli ‘Sumpil’ Sugianto) naik ke ‘mimbar’ memimpin ribuan Aremania untuk bernyanyi dan bergembira. Tujuan semua itu hanya satu, mendukung Arema mengalahkan musuh nomor satu di Liga, Persebaya Surabaya.
Kami bergoyang kekanan-kekiri, maju mundur dan berloncatan. Semua itu membuat kami merasa gembira dan bersemangat. Aroma minuman keras dihembuskan angin sore itu. Saya sempat ‘merekam’ sebuah insiden dimana seseorang, yang dituduh bonek (suporter garis keras Persebaya) menyusup ke bangku penonton. Ketika beberapa aremania menghajarnya (ketika itu Surabaya dan Malang masih perang dingin dimana ada kesepakatan masing-masing klub tidak mengerahkan suporternya ketika tandang), koor ‘ndeso…ndeso…!! Ndeso…ndeso..!! langsung bergema. Itu membuat saya kagum.
Karakter suporter yang hebat akan terlihat ketika sedang menghadapi masalah. Meski benci setengah mati terhadap Persebaya, tetapi lambat laun Aremania mulai dewasa dalam bersikap, sebab mereka sadar nama besar Aremania dipertaruhkan. Tidak ada lagi bakar-bakaran, tidak ada lagi spanduk provokatif, juga tidak ada lemparan-lemparan kearah lapangan.
Fanatisme Kedaerahan
Arema Malang adalah wakil dari ketidakmapanan sosial di Malang, meski kota itu bisa disebut sebagai kota terbesar kedua di Jawa Timur. Arema juga menjadi simbol perlawanan terhadap hegemoni politik dan sosial yang semakin meminggirkan kaum tidak mampu. Di Malang, ada klub plat merah, alias milik Pemda, yaitu Persema Malang.
Tetapi, bisa saya katakan, jumlah Aremania lebih besar dan lebih fanatik daripada pendukung Laskar Ken Arok. Arema didanai oleh Aremania lewat tiket masuk, bukan APBD sebagaimana Persema. Arema juga mandiri dengan sponsor lokalnya. Dengan begitu, Aremania merasa memiliki Singo Edan, baik atau buruknya. Itu sebabnya, Arema sangat anti-Persema, yang di cap sebagai perpanjangan tangan dari kekuasaan yang lalim.
Pemandangan yang kontras akan terlihat ketika Arema dan Persema memainkan partai kandangnya. Ketika Arema didukung oleh lautan biru dengan kisaran tidak kurang dari 15ribu-an Aremania, disisi lain Persema hanya didukung oleh ratusan ‘simpatisan’. Diyakini, para simpatisan tersebut hanyalah ingin menonton sepakbola, bukan ingin menikmati dengan cara yang berbeda sebagaimana Aremania.
Pada sisi lainnya, masih di wilayah Jawa Timur, Arema juga bersaing keras dengan tim besar lainnya di wilayah ini, Persebaya Surabaya. Konon, perseteruan ini terjadi sejak era Galatama, hingga pada format kompetisi Wilayah Barat dan Timur, PSSI memutuskan memisahkan keduanya untuk memperkecil gesekan antar suporter. Ada ‘mitos’ tak tertulis bahwa Arema boleh kalah dengan tim mana saja, bahkan dikandang sekalipun, asalkan bukan dari Persebaya. Dibagian manapun di planet ini, namanya kekalahan dalam partai derby, selalu menyisakan kesedihan yang mendalam. Bahkan tak jarang kekecewaan ini dilampiaskan dengan cara yang anarkis.
Keramahtamahan Wong Malang
Teman saya itu, Husni, adalah teman sebangku saya di SMU 1 Jombang. Ya, saya lahir di Jombang, dengan ayah asli Bululawang, Jawa Timur dan ibu Nganjuk. Bisa dikatakan, saya adalah setengah Arema. Mungkin itu yang membuat saya merasa dekat dengan apapun yang berbau kota Malang. Ketika liburan sekolah tiba, saya lebih suka ke Malang, daripada ke Surabaya, misalnya. Saya kagum dengan keramahtamahan (hospitality) wong ngalam.
Bisa jadi sifat dan karakter itu memang karakter dasar orang Jawa, yang memiliki toleransi tinggi, menjunjung adat-istiadat dan budaya orang lain, serta membumi dimanapun berada. Pada artikel Kompas, pertengahan Juli 2008, menyebutkan bahwa Jawa Timur terbagi menjadi tiga tlatah, yaitu Tlatah Mataraman (Pacitan, Madiun, Ngawi, Magetan,Trenggalek, Ngajuk dan sekitarnya), Tlatah Arek (Gresik, Jombang, Surabaya, Sidoarjo, Batu dan Malang) dan Tlatah Pandalungan (Pasuruan, Probolinggo, Lumajang, Madura, Bondowoso dan Jember).
Tlalah Arek mencirikan kultur yang egaliter, toleransi, terbuka dan apa adanya. Itu bisa dilihat dari pemabangunan kota dan budaya Malang yang mencerminkan perpaduan berbagai macam budaya dan karakter manusia. Wong Malang juga memiliki karakter Yok Opo Enake, alias selalu berupaya menyelesaikan setiap persoalan secara suka sama suka, win-win solution.
Perpaduan budaya itu membentuk berbagai komunitas, salah satunya adalah Aremania, komunitas terbesar di Malang. Matasan, yang pernah menjadi Koordinator Aremania, berujar : “Rasa solidaritas yang tinggi inilah yang membedakan Arek Malang dengan Arek Suroboyo atau Arek Jombang, misalnya”.
Saya merasakan ungkapan Matasan benar, ketika mencoba mengingat waktu pertama kali saya menginjakkan kaki di Gajayana, para Aremania seperti saudara bagi saya. Saya tak canggung meski berada diantara ribuan orang dengan berbagai karakter. Kami antri dengan tertib memasuki stadion, saling bertukar rokok, minuman dan tentu saja berangkulan, bernyanyi bersama sepanjang laga sore itu, meski kami tidak mengenal satu sama lain.
Satu hal yang saya kagumi, mereka tidak memandang orang lain yang tidak dikenalnya dengan tatapan aneh atau mencurigai. Sebab, Aremania meyakini, siapapun yang datang ke Gajayana adalah saudara sebab mereka sama-sama mendukung the sacred blue jersey, Arema.
Rasa cinta tanah air dan persaudaraan yang tinggi itulah yang membuat Arek Malang dimanapun berada, selalu membentuk komunitas yang erat. Ketika mereka bertemu diperantauan, maka mereka seperti bertemu dengan kawan lama. Atas dasar itulah, kelak muncul adagium Aremania tidak kemana-mana, (tetapi) Aremania ada dimana-mana. Ungkapan yang sederahana, tetapi dalam maknanya. Orang Malang boleh merantau kemanapun dipenjuru bumi ini, tetapi hati mereka tetap terpaut oleh Arema dan Aremania.
Aremania : Cobaan di Tengah Pencarian Jati Diri
Aremania bukanlah komunitas dengan atribut pengurus lengkap atau dengan dana berlimpah. Mereka membangun komunitas dari bawah, mengumpulkan dana dari tiket masuk stadion, berjualan merchandise, kemudian secara perlahan-lahan tumbuh menjadi komunitas yang kelak segala kreativitasnya menjadi inspirasi bagi supporter klub Indonesia lainnya.
Ketika Aremania mulai menemukan jatidirinya sebagai komunitas terbesar dan disorot oleh banyak kalangan, cobaan pun mendera. Mulai dari pertikaian antar suporter, tergusurnya kandang dari Gajayana ke Kanjuruhan dipinggiran kota hingga hukuman Aremania dilarang menonton pertandingan Aremania selama 2 tahun.
Menurut saya, hukuman ini seperti mematahkan sayap seekor burung. Tentu saja burung tersebut tak dapat terbang dan tak bisa berbuat apa-apa. Begitu juga dengan Aremania. Bagi sebagian besar Aremania, menonton Arema di stadion ibarat ibadah ‘wajib’ kedua setelah shalat Jumat. Sepakbola adalah urat nadi yang menggerakkan rasa cinta antar sesama warga. Sepakbola juga yang meyatukan mereka. Arema adalah satu-satunya cinta yang mereka miliki.
Pada ulang tahunnya yang ke 21 (11 Agustus 2008) kali ini, Aremania seperti remaja yang sedang mencari jati diri. Adakalanya pencarian jatidiri itu berakhir dengan kegagalan, sebab salah memilih arah dan tujuan. Kita semua tahu, pendewasaan butuh proses dan kesabaran.
Semakin tinggi pohon, semakin tinggi pula terpaan anginnya. Ungkapan ini pas untuk Aremania. Ketika kreativitas dan persaudaraannya dikagumi dimana-mana, maka tuntutan untuk menjaga citra dan kebanggaan adalah mutlak diperlukan. Aremania tidak bisa lagi seenaknya berlaku anarkis. Tetapi itu menjadikan Aremania lebih dewasa dalam bersikap dan bertingkah laku.
Salah satu wujud kedewasaan itu adalah sabar dalam menghadapi cobaan dan tidak mudah terpancing provokasi murahan pihak lain. Patut diingat bahwa orang yang hebat adalah orang yang mampu menahan amarahnya ketika ia layak untuk marah. Jika lolos dari ujian ini, maka Aremania patut mendapat predikat lebih dari sekadar The Best Supporter.
Sore itu, pertengahan Juli 1998, kami seluruh Aremania yang membirukan Gajayana, bernyanyi dan bergembira, sebab Arema mengalahkan Persebaya 1-0 lewat gol di injury time. Seluruh stadion bergemuruh seperti hampir rubuh. Kami saling berpelukan, saling mengucapkan selamat, sehingga lupa bahwa kami tidak saling mengenal. Bahkan kami lupa sedang berada dimana. Mungkin saja kami berada di bulan. Kami pun pulang dengan hati riang, meski hujan gerimis mengiringi langkah gontai kami…
Selamat Ulang Tahun Arema yang ke 21, semoga prestasi semakin hebat luar dalam, juga buat Aremania semakin dewasa dan kreatif.
Salam Satu Jiwa dari bumi Borneo, Pontianak
Pontianak, 11 Agustus 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar