Kamis, 13 Agustus 2009

Mengapa harus berubah?

Suatu ketika, sayabertemu dengan teman-teman sewaktu smu. Padahal kami baru lulus 3 tahun yang lalu. Tapi itu tidak mengurangi antusiasme kami untuk saling bercerita. Ada yang masih kuliah, ada yang sudah berkeluarga, ada yang sudah bekerja. Ada kisah sedih, juga ada yang menyenangkan. Sekilas, tampak tak ada yang berbeda dengan kami semua, hanya sedikit canggung karena lama tidak bertemu, terutama untuk mereka yang keluar kota.

Uniknya,  ada yang berubah dari cara kami menampilkan diri. Ada yang memakai henpon terbaru dengan kamera, jepret sana-jepret sini, telpon sana-telpon sini, ada yang secara visual mirip artis sinetron, rambut spikey, baunya wangi sekali sampai saya tidak bisa membedakan mana yang bau parfum mana yang minyak kenyonyong. Ada yang menggendong anak, dan ketika disapa menjawab dengan antusias 'biasa bro, akibat pergaulan bebas...'. Ada juga yang stagnan, status quo, ingin atau lebih tepatnya keadaan yang membuat mereka seperti itu- tetap seperti dulu. Mereka adalah orang-orang yang bekerja seusai lulus sekolah. Kisah dibaliknya membuat saya terenyuh, tersentuh lalu bersimpati dengan mengucapkan sedikit hiburan, ' kamu hebat, sekarang sudah bekerja, saya saja masih bingung mau ngapain'...

Perubahan

Tidak bisa disangkal, seiring bertambahnya usia dan berjalannya waktu, perubahan selalu menyertai. Hanya saja, jika perubahan itu menjadikan dirinya bukanlah 'dirinya', perubahan itu menjadi sesuatu yang absurd. Banyak orang ingin seperti orang lain, meniru gaya orang lain dan ingin kehidupannya seperti orang lain. Padahal, menurut saya yang orang bodoh ini, (berusaha) menjadi orang lain itu berarti berbohong. Ya berbohong kepada diri sendiri, kepada orang lain, dan yang lebih parah, berbohong kepada Tuhan. Ah, siapa yang tahu?

Setiap orang pasti ingin berubah, tentunya menjadi lebih baik. Anehnya, ada yang senang meski perubahannya ke arah keburukan. Ada yang kaya karena mencuri, bangga. Ada yang bisa memperistri wanita cantik karena hartanya, bangga. Ada yang bisa mendapatkan pekerjaan imipiannya karena orangtuanya, bangga. Secara tidak sadar -mungkin ngelindur- mereka telah menghabisi tujuan hidupnya, esensi dasar dari pertanyaan apakah yang kita tuju dalam hidup? apakah hanya berubah mengikuti tren? saya tidak ingin membayangkan jika semua orang ingin berubah menjadi artis sinetron yang kulitnya mulus bak batu pualam. Atau ingin menjadi musisi dengan menjiplak lagu oarng lain dan manggung dengan lip-sync? Ah, siapa yang peduli...

Seketika saya jadi kangen dengan Bapak saya. Beliau orang yang membumi. Kalaupun harus sombong, itu karena ada orang yang sombong sedang sombong di depan beliau. Sudah sombong, salah pula. Saya juga kangen dengan teman-teman yang berusaha menutupi kesuksesannya, bukan karena ingin ditiru, tetapi karena semata-mata agar kekayaannya tidak membuatnya tinggi hati dan (merasa) lebih hebat dari orang lain.

Ah, siapa yang peduli? 

Tidak ada komentar: